Kewajiban Mengingkari Thaghut
Dengan demikian, Allah telah mewajibkan kepada
seluruh hamba-Nya supaya bersikap kafir kepada thaghut
dan hanya beriman kepada-Nya saja.
Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah ta’ala telah menjelaskan
pengertian thaghut dengan mengatakan: “Thaghut, ialah
segala sesuatu yang diperlakukan manusia secara
melampaui batas (yang telah ditentukan oleh Allah),
seperti dengan disembah, atau diikuti, atau dipatuhi.”
Syarah dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
[Wajibnya ingkar kepada taghut]
Syaikhul Islam rahimahullah memaksudkan bahwa
tauhid itu tidak akan sempurna kecuali dengan
mengibadahi Alloh saja, tiada sekutu bagi-Nya, serta
dengan menjauhi thaghut.
Alloh telah mewajibkan hal itu kepada seluruh hamba.
Sedangkan kata thaghut di sini merupakan pecahan dari kata thughyan yang mempunyai arti melampui batas. Di
antara contohnya adalah firman Alloh Ta'ala,
"Sesunguhnya Kami, tatkala air telah 'melampaui batas',
maka Kami bawa (nenek moyang) kamu ke dalam
bahtera" (Al-Haaqqah:11)
Maksudnya, ketika air itu telah melampaui batas yang
normal (meluap melampaui batas), maka Kami bawa
(nenek moyang) kalian ke dalam bahtera.
Menurut istilah, pengertian thaghut yang paling tepat
adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnul
Qoryim rahimahullah, yaitu apa saja yang diperlakukan
oleh hamba (manusia) secara melampaui batas; berupa
sesuatu yang disembah, diikuti dan ditaati.
Yang dimaksud dengan yang disembah, diikuti dan
ditaati sini adalah selain orang-orang sholih. Orang-orang
sholih itu bukan thaghut, sekalipun mereka disembah,
diikuti, atau ditaati. Berhala-berhala yang disembah
selain Alloh, itulah thaghut.
Para ulama su'u, yang menyeru kepada kesesatan dan
kekufuran, atau menyeru untuk menghalalkan apa yang
diharamkan oleh Allah atau mengharamkan apa yang
dihalalkan oleh Alloh, maka mereka itu adalah para
thaghut. Orang-orang yang menggoda para pemimpin
atau penguasa untuk keluar dari syariat Islam untuk
berganti menggunakan tatanan-tatanan yang mereka
impor, yang menyelisihi tatanan agama Islam, maka
mereka itu adalah para thaghut. Sebab, mereka ini telah
melampaui batasnya. Batasan seorang alim (ulama) adalah mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi, karena
pada hakekatnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Para
ulama itu mewarisi para nabi dalam mengurus umat para
nabi itu, baik berkenaan dengan ilmu, amal, akhlak, serta
dakwah maupun ta'lim. Jika para ulama itu telah
melampaui batasan ini, lalu mereka justru menggoda para
penguasa untuk keluar dari syariat Islam dengan berganti
menggunakan tatanan-tatanan (nizham) semacam itu;
maka mereka ini adalah para thaghut. Sebab, mereka
telah melampaui batas yang diwajibkan atas mereka,
yaitu mengikuti syariat.
Yang dimaksudkan dengan perkataan Ibnul Qoyyim
rahimahullah “atau yang ditaati", adalah para umaro
yang ditaati karena syari maupun karena kebesaran atau
keagunganya. Para umaro itu ditaati karena syar'i,
manakala mereka memerintahkan sesuatu yang tidak
bertentangan dengan perintah Allah dan rosul-Nya.
Dalam hal semacam ini tidak benar jika mereka
dikatakan sebagai thaghut. Bahkan mendengar dan
menaati mereka merupakan kewajiban bagi rakyat.
Ketaatan rakyat terhadap ulil amri dalam hal ini dan
dengan ikatan seperti ini merupakan bentuk ketaatan
kepada Alloh 'azza wa jalla. Oleh karena itu, seyogyanya
kita mesti selalu ingat bahwa ketika kita menunaikan apa
yang diperintahkan oleh ulil amri dalam hal yang
memang wajib ditaati, kita dalam menunaikan hal itu
berarti beribadah kepada Alloh ta'ala dan mendekatkan
diri kepada-Nya dengan cara mentaati ulil amri itu;
sehingga perintah yang kita tunaikan ini meniadi suatu
bentuk pendekatan diri (qurbah) kepada Alloh 'azza wa jalla . Yang menjadi dasar bahwa kita mesti ingat akan
hal ini adalah karena Alloh Ta'ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rosul-Nya serta ulil amri di antara kalian" (AnNisaa:
59)
Ketaatan kepada umaro bisa juga karena kebesaran
umaro tersebut. Umaro' itu jika memiliki kekuasaan yang
kuat, maka manusia akan mematuhi mereka lantaran
kuatnya kekuasaan itu, jika bukan karena kendali iman.
Sebab, ketaatan kepada ulil amri itu sebenarnya atas
dasar kendali iman; dan inilah ketaatan yang bermanfaat,
bagi para ulil amri itu sendiri maupun juga bagi manusia
atau rakyat seluruhnya.
Terkadang ketaatan atau kepatuhan itu lantaran kendali
sang penguasa;karena dia kuat, sehingga manusia merasa
takut dan khawatir kepadanya. Sebab ia akan menyiksa
siapa saja yang menyelisihi perintahnya.
Oleh karena itu, dapat kami katakan bahwa hubungan
antara manusia pada umumnya dengan para penguasa
mereka dalam masalah ini terbagi menjadi beberapa
kondisi :
Pertama : Kuatnya kendali iman dan kendali penguasa.
Inilah bentuk ketaatan yang paling sempurna dan paling
tinggi.
Kedua: Lemahnya kendali iman dan kendali penguasa.
Ini adalah kondisi yang paling rendah dan paling
berbahaya bagi masyarakat, baik terhadap penguasa itu
sendiri maupun bagi rakyat Sebab jika kendali iman dan
kendali penguasa itu lemah, maka yang terjadi adalah
anarki pemikiran, akhlak maupun perbuatan.
Ketiga: Lemahnya kendali iman dan kuatnya kendali
penguasa
Ini adalah tingkatan nomor tengah. Sebab jika kendali
penguasa itu kuat, maka hal itu akan lebih bermaslahat
bagi umat dalam bentuk luarnya. Jika kekuatan penguasa
itu sudah tersembunyi, maka Anda tidak perlu tanya lagi
mengenai kondisi umat dan aktivitasnya yang buruk.
Keempat: Kuatnya kendali iman dan lemahnya kendali
penguasa.
Dalam kond.isi seperti ini, maka perwujudan luarnya
lebih rendah dari pada kondisi yang ketiga di atas, akan
tetapi hubungan antara manusia dengan Robbnya jauh
lebih sempurna dan lebih tinggi.
Dedengkot-dedengkot Thaghut
Thaghut itu banyak macamnya, tokoh-tokohnya ada lima:
- Iblis, yang telah dilaknat oleh Allah,
- Orang yang disembah, sedang ia sendiri rela,
- Orang yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya.
- Orang yang mengaku mengetahui sesuatu yang ghaib.
- Orang yang memutuskan sesuatu tanpa berdasarkan hukum yang telah diturunkan oleh Allah.
Syarah dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
[Dedengkot Taghut: Iblis]
Iblis adalah setan yang 'terajam'dan terlaknat, yang
terhadapnya Alloh berfirman:
"Sesunguhnya laknat-Ku tetap atasmu hinga Hari
Pembalasaa" (Shaad: 78)
Dahulunya, iblis itu bersahabat dengan para malalkat dan
melakukan perbuatan yang dilakukan oleh para malaikat.
Namun ketika iblis mendapat perintah untuk sujud
kepada Adam 'alahissalam, tampaklah bahwa pada
dirinya terdapat sifat busuk, enggan (durhaka), dan
takabur. Karena ternyata ia enggan (untuk sujud) dan
takabur, dan ia termasuk golongan orang-orang yang
kafir, akhirnya ia terusir dari rahmat Allah Ta'ala, Allah
berfirman,
'Ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat
(yang di situ terdapat pula iblis), 'Sujudlah kalian kepada
Adam!' Maka bersujudlah mereka, kecuali iblis. Ia
enggan dan takabur, dan ia termasuk golongan orangorang
kafir'”(Al-Baqarah: 34)
[Dedengkot Taghut: Orang yang disembah, sedangkan ia
rela]
Yaitu orang yang diibadahi (disembah) selain Alloh,
sedangkan ia rela untuk disembah selain Allah. Ia
termasuk salah satu dari dedengkot thaghut -wal 'iyadzu
billah- entah ia disembah semasa hidupnya ataupun
sepeninggalnya jika ia mati dalam keadaan rela akan hal
itu.
[Dedengkot Taghut: Orang yang mengajak manusia
untuk mengibadahinya]
Yaitu orang yang-menyeru atau mengajak manusia untuk
mengibadahi dirinya, sekalipun mereka tidak
mengibadahinya. Orang seperti ini termasuk salah satu
dedengkot thaghut; entah seruannya tersebut mendapat
sambutan ataupun tidak.
[Dedengkot Taghut: Orang yang mengaku mengetahui
ilmu ghaib]
Gaib adalah sesuatu yang tersembunyi dari jangkauan
manusia. Gaib ini ada dua macam; yang sudah terjadi dan
yang akan datang. Gaib yang sudah terjadi ini sifatnya
nisbi (relatif), jadi bagi seseorang merupakan sesuatu
yang maklum (dapat diketahui), namun bagi orang lain
merupakan sesuatu yang majhul (tidak dapat diketahui).
Sedangkan gaib tentang masa yang akan datang itu
bersifat hakiki, yang tidak dapat dikeiahui oleh
seseorang, kecuali hanya oleh Alloh, atau oleh rosulrosul
yang memang telah diberitahu oleh-Nya. Maka
siapa saja yang mengaku mengetahuinya, maka ia berarti
kafir, karena ia mendustakan Allah dan Rosul-Nya. Alloh
ta'ala, berfrman,
“Katakanlah, 'Tidak ada seorangpun di langit ataupan di
bumi yang mengetahai perkara gaib kecuali Allah'. Dan
mereka tidak mengetabui bilamana mereka dibangkitkan
(An-Naml: 65)
Bila Alloh 'azza wa jalla telah memerintahkan Nabi-Nya,
Muhammad shallallahu'alaihi wassalam untuk
mengumumkan kepada khalayak manusia bahwasanya
tiada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara gaib kecuali Alloh saja. Maka barangsiapa
mengaku mengtahui perkara gaib, berarti ia telah
mendustakan Alloh 'azza wa jalla dan juga mendustakan
Rosul-Nya mengenai pemberitaan ini.
Kami tanyakan kepada mereka itu, bagaimana mungkin
kalian dapat mengetahui perkara gaib, sedangkan Nabi
Muhammad shallallahu'alaihi wassalam saja tidak
mengetahurnya?! Apakah kalian ini lebih unggul dari
pada Rosululloh shallallahu 'alaihi wassalam ataukah
Rosululloh yang lebih unggul?Jika mereka menjawab,
"Kami lebih unggul (lebih mulia) daripada Rosul", maka
mereka telah menjadi kafir lantaran perkataan ini. Dan
jika mereka menjawab bahwa beliau itu lebih unggul,
maka kami tanyakan kepada mereka, "Lalu mengapa
beliau tidak dapat mengetahui perkara gaib sedangkan
kalian mengetahuinya?! Sedangkan Alloh 'azza wa jalla
telah berfirman tentang diri-Nya:
“Dia Maha Mengetahui perkara gaib; maka Dia tidak
menampakkan kepada seorang pun tentang perkara gaib
itu, kecuali kepada rosul yang diridhai-Nya. Maka
sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga
(malaikat) di muka dan di belakangnya" (Al-Jinn: 26-27)
Ini merupakan ayat -selain ayat di atas- yang
menunjukkan kafirnya orang yang mengaku mengetahui
perkara gaib. Alloh Ta'ala bahkan telah memerintahkan
Nabi-Nya agar mengumumkan kepada khalayak manusia
melalui firman-Nya, 'Katakanlah (Muhammad), 'Aku tidak mengatakan
kepadamu bahwa perbendaharaan Alloh ada padaku; aku
tidak mengetahui perkara gaib; dan aku juga tidak
mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku
tidak lain hanyalah mengikuti apa yang telah diwahyukan
kepadaku'" (Al-An'am: 50)
[Dedengkot Taghut: Orang yang mengukumi dengan
selain hukum Allah]
Berhukum dengan hukum yang telah diturunkan oleh
Alloh Ta'ala termasuk bagian dari tauhid rububiyah,
karena hal itu merupakan pengejawantahan hukum Alloh
yang menjadi tuntutan atau konsekuensi rububiyah-Nya,
serta kesempurnaan kerajaan dan pengaturan-Nya. Oleh
karena itu, Alloh Ta'ala menamakan orang-orang yang
diikuti dalam menjalankan hukum selain hukum yang
telah diturunkan oleh Alloh Ta'ala sebagai "tuhan-tuhan"
(Robb) bagi orang-orang yang mengikuti mereka. Alloh
Ta'ala berfirman :
"Mereka menjadikan orang-orang alim dan rohib-rohib
mereka sebagai 'tuhan-tuhan' selain Alloh, dan juga
mereka mempertuhan Al-Masih putra Maryam; padahal
mereka hanya diperintah untuk mengibadahi Alloh Yang
Maha Tunggal; tiada ilah selain-Nya. Maha suci Alloh
dari apa yang mereka persekutukan" (At-Taubah: 31)
Alloh Ta'ala menamakan para ikutan itu sebagai "ruhantuhan",
karena mereka dijadikan sebagai para pensyariat
di samping Alloh Ta'ala, dan menamakan para pengikut
mereka sebagai "para hamba" (penyembah), karena para pengikut itu tunduk dan taat kepada mereka dalam
menyelisihi hukum Alloh Ta'ala.
'Adi bin Hatim ketika itu bertanya kepada Rosululloh
shallallahu 'alahi wassalam "Sesungguhnya para pengikut
itu tidak menyembah mereka?" Maka Rosululloh
shallallahu 'alahi wassalam bersabda:
"Mereka telah mengharamkan terhadap para pengikut itu
sesuatu yang halal, serta menghalalkan buat mereka
sesuatu yang haram; lalu para pengikut itu pun mengikuti
(menaati) mereka. Itulah penyembahan (ibadah) para
pengikut ini kepada mereka!" (HR. Tirmidzi dan
dihasankannya)
Jika Anda telah memahami hal itu, maka ketahuilah
bahwa siapa saja yang tidak menghukumi dengan
(hukum) yang telah diturunkan oleh Alloh, dan
menghendaki agar berhukum itu adalah kepada selain
Alloh dan Rosul-Nya; maka mengenai orang semacam
ini terdapat ayat-ayat yang menafikan keimanan dari
dirinya serta ayat-ayat yang menyatakan kekufuran,
kezholiman dan kefasikannya.
Mengenai bagian yang pertama (ayat-ayat. yang
menafikan keimanannya), misalnya adalah firman Alloh
Ta'ala,
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang
mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada
thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila
dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk)
kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada
hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik
menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari
(mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila
mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah
disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian
mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi
Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain
penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna".
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui
apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah
kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan
katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada
jiwa mereka. Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul
melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.
Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah,
dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat
lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu, mereka
(pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati
mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (AnNisaa:
60-65)
Allah Ta'ala mensifati mereka yang mengaku beriman
sedangkan sebenarnya mereka itu munafik, dengan
beberapa sifat :
Pertama:
Bahwa mereka menginginkan agar berhukum itu kepada
thaghut; yaitu setiap hukum yang menyelisihi hukum
Alloh Ta'ala dan hukum Rosul-Nya. Sebab, setiap yang
menyelisihi hukum Allah dan Rosul-Nya itu merupakan
kezholiman dan perlawanan terhadap hukum Alloh, Dzat
pemilik kekuasaan hukum dan hanya kepada-Nya
dikembalikan segala urusan. Allah Ta'ala berfirman,
'Ingatlah, mencipta dan memerintah hanyalah wewenang
Allah" (Al-A'raaf: 54)
Kedua:
Ketika mereka diseru untuk tunduk kepada hukum yang
telah diturunkan oleh Alloh dan kepada hukum
Rosululloh, maka mereka menolak dan berpaling.
Ketiga:
Jika mereka mendapatkan musibah yang sebenarnya
disebabkan oleh perbuatan tangan mereka sendiri
,diantaranya tertimpa oleh perbuatan mereka sendiri,
maka mereka kemudian datang untuk bersumpah bahwa
mereka tidak menginginkan sesuatu melainkan
penyelesaian yarrg baik dan perdamaian yang sempurna,
seperti pernyataan orang sekarang yang menolak hukumhukum
Islam dan memilih menghukumi dengan aturanaturan
atau undang-undang yang menyelisihi hukum Islam, dengan mengemukakan alasan dan anggapan
bahwa hal itu merupakan bentuk penyelesaian terbaik
yang sesuai dengan kondisi zaman.
Selanjutnya, Allah Ta'ala memperingatkan mereka yang
mengaku beriman namun memiliki sifat-sifat seperti itu,
bahwa Alloh mengetahui apa yang ada dalam hati
mereka serta apa saja yang mereka simpan dalam hati,
berupa hal-hal yang berbeda dengan yang mereka
katakan. Alloh memerintahkan Nabi-Nya agar menasihati
mereka dan mengatakan perkataan yang mengena pada
jiwa mereka. Selanjutnya Alloh menjelaskan bahwa
hikmah diutusnya Rosul itu adalah agar rosul itu ditaati
dan diikuti, bukannya mengikuti manusia lain sekalipun
mempunyai pemikiran-pemikiran yang handal dan
wawasan yang luas. Setelah itu, Alloh bersumpah dengan
rububiyah-Nya terhadap Rosul-Nya yang merupakan
bentuk rububiyah yang paling khusus, dan hal itu
mengandung isyarat atau petunjuk akan kebenaran
risalah Muhammad shallallahu 'alahi wassalam. Di situ
Alloh bersumpah dengan bentuk sumpah yang sangat
dikuatkan bahwasanya keimanan itu tidak bisa sah
kecuali dengan tiga perkara.
- Dalam setiap perselisihan yang ada harus berhakim kepada Rosululloh shallallahu 'alahi wassalam
- Harus berlapang dada dalam menerima hukum (putusan) Rosululloh, dan di dalam hati tidak terdapat rasa keberatan dalam menerimanya.
- Harus pasrah atau tunduk dalam menerima apa yang dihukumkan oleh beliau, serta menunaikannya tanpa melakukan penyimpangan.
Untuk bagian yang kedua (tentang ayat-ayat yang
menyatakan kekufuran, kezholiman serta kefasikan orang
yang tidak meng hukumi dengan hukum yang telah
diturunkan oleh Alloh) adalah seperti firman Allah
Ta'ala:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang kafir” (Al-Maidah: 44)
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orangorang
yang dzalim” (Al-Maidah: 45)
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orangorang
yang fasik” (Al-Maidah: 47)
Apakah ketiga sifat ini ditujukan kepada seorang yang
disifati saja; dalam arti bahwa setiap orang yang tidak
menghukumi dengan hukum yang diturunkan oleh Alloh,
berarti dia kafr, zholim dan fasik sekaligus? Sebab, Alloh
Ta'ala mensifati orang-orang kafir itu dengan sifat zholim
dan fasik. Alloh ta'ala berfirman
“..dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang dzalim”
(Al-Baqarah: 254)
Alloh juga berfirman :
"... sesungguhnya mereka itu telah kafir kepada Alloh
dan Rosul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasik”
(At-Taubah: 84)
Sehingga setiap orang yang kafir itu berarti zholim dan
fasik. Atau apakah sifat-sifat ini ditujukan kepada
beberapa orang yang disifati sesuai dengan penyebab
mereka untuk tidak berhukum dengan hukum yang telah
diturunkan oleh Alloh? Menurut saya, ini yang lebih bisa
diterima (benar). Wallahu a'lam.
Dengan demikian, kami dapat mengatakan, ..Orang yang
tidak menghukumi dengan hukum yang telah diturunkan
oleh Alllah karena meremehkannya, atau
merendahkannya, atau karena meyakini bahwa hukum
lainnya lebih bermaslahat (baik) daripada hukum Alloh,
serta lebih bermanfaat bagi umat manusia, atau dengan
alasan-alasan lain yang semisal, maka dia berarti kafir
dalam bentuk kekufuran yang mengeluarkan dirinya dari
agama (murtad). Di antara kategori mereka itu adalah
orang yang membuat perundang-undangan untuk
manusia, yang menyelisihi perundang-undangan lslam,
dengan tujuan agar perundang-undangan yang dibuat itu
menjadi manhaj yang dipakai oleh umat manusia; maka
sebenarnya mereka itu tidak membuat perundangundangan
yang menyelisihi syariat Islam melainkan
mereka itu berkeyakinan bahwa hal itu lebih bermaslahat
dan lebih bermanfaat bagi umat manusia. Sebab, sudah
pasti dapat dimaklumi oleh akal sehat dan tabiat fitrah
bahwa manusia itu tidak akan mau berpaling dari satu
manhaj menuju manhaj lain yang menyelisihinya, kecuali karena ia meyakini akan kelebihan manhaj yang ia pilih
dan kekurangan manhaj yang ia tinggalkan.
Siapa yang tidak menghukumi dengan hukum yang telah
diturunkan oleh Alloh, namun ia tidak meremehkan dan
merendahkan hukum Alloh ini, serta tidak meyakini
bahwa hukum lainnya lebih bermaslahat bagi dirinya
daripada hukum Alloh ini, maka berarti ia zholim, bukan
kafir. Tingkatan-tingkatan kezholimannya itu sesuai
dengan yang dihukumkan (hukum yang diberlakukan)
dan perangkat lukumnya.
Orang yang tidak menghukumi dengan hukum yang telah
dirurunkan oleh Alloh, bukan karena meremehkan
hukum Alloh, bukan karena merendahkannya, dan juga
bukan karena meyakini bahwa hukum lainnya lebih
bermaslahat dan lebih bermanfaat bagi manusia dan
semisalnya; namun, hanya saja ia menghukumi dengan
selain hukum Alloh itu karena memihak pihak yang
dimenangkan dalam perkara hukumnya, atau karena
terikat dengan suap, atau jenis-jenis materi duniawi
lainnya, maka dia berarti fasik, bukan kafir. Tingkat
kefasikannya itu berbeda-beda sesuai dengan hukum
yang dibedakukan serta perangkat-perangkat hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan
tentang orang-orang yang menjadikan orang-orang alim
(ahbar) mereka dan rohib-rohib mereka sebagai tuhantuhan
selain Alloh, bahwa mereka itu terbagi menjadi dua
kategori :
a. Orang-orang yang mengetahui bahwa para ulama dan
rohib-rohib tersebut mengganti agama Alloh, namun
orang-orang itu tetap saja mengikuti mereka terhadap
tindakan mengganti agama Alloh itu serta meyakini
kehalalan sesuatu yang diharamkan oleh Alloh dan
keharaman sesuatu yang dihalalkan oleh-Nya, demi
mengikuti pemimpin-pemimpinnya, sedang orang-orarrg
itu tahu bahwa mereka itu telah menyalahi agama para
rosul; maka yang semacam itu merupakan kekufuran,
bahkan Allah dan Rosul-Nya telah menyatakan hal itu
sebagai bentuk kesyirikan.
b. Orang-orang yang punya keyakinan tetap tentang
penghalalan sesuatu yang diharamkan (oleh Alloh) dan
pengharaman yang dihalalkan, akan tetapi orang-orang
ini menaati mereka dalam bermaksiat kepada Alloh
sebagaimana tindakan seorang muslim yang melakukan
kemaksiatan-kemaksiatan yang memang ia yakini
sebagai kemaksiatan; maka orang-orang seperti ini
dihukumi sebagaiman para ahli dosa.
Ada perbedaan antara masalah-masalah yang dapat
dikategorikan sebagai pensyariatan (legislasi) yang
bersifat umum dengan masalah yang bersifat spesifik,
yang disitu seorang qodhi (hakim) menghukumi dengan
selain hukum yang telah diturunkan oleh Alloh.
Sebab masalah-masalah yang tidak bisa dikategorikan
sebagai pensyariatan yang bersifat umum itu tidak bisa
dibagi sebagaimana di atas. Hanyasanya hal itu termasuk
dalam kategori bagian pertama saja, karena orang yang
membuat pensyariatan yang menyelisihi Islam itu, sudah tentu ia melakukan karena keyakinannya bahwa hal itu
lebih membawa kemaslahatan daripada Islam, serta lebih
bermanfaat bagi umat manusia; sebagaimana yang telah
dikemukakan di depan.
Masalah ini, yaitu masalah menghukumi dengan selain
hukum yang diturunkan oleh Alloh, termasuk masalahmasalah
besar yang menimpa para penguasa di zaman
ini. Oleh karena itu, siapa saja jangan sampai terburuburu
meminta putusan hukum kepada mereka dalam
persolan yang tidak menjadi hak mereka, sampai
kebenaran itu menjadi jelas baginya. Sebab, masalah ini
cukup rawan dan berbahaya. Kita memohon kepada
Alloh Ta'ala kiranya berkenan memperbaiki para
penguasa kaum muslimin. Demikian juga, setiap orang
yang diberi ilmu oleh Alloh Ta'ala, agar menjelaskan hal
ini kepada para penguasa agar mereka mendapatkan
hujah dan tujuan pun menjadi jelas; sehingga orang yang
binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata, dan
orang yang hidup pun hidupnya dengan keterangan yang
nyata pula. Jangan sampai orang yang berilmu itu merasa
rendah diri untuk memberikan penjelasan mengenai hal
ini dan jangan sampai takut kepada seorang pun dalam
melakukan hal ini. Karena sesungguhnya 'izzah
(kemuliaan, keperkasaan) itu hanyalah milik Alloh, milik
Rosul-Nya dan milik orang-orang yang beriman.
Kewajiban Mengingkari Thaghut
Reviewed by suqamuslim
on
05.48
Rating:
Tidak ada komentar: