Landasan 2. Tingkatan 3 : Ihsan
Ihsan, rukunnya hanya satu, yaitu:
“Beribadahlah kepada Allah dalam keadaan seakan-akan
kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu.”
Dalilnya, firman Allah ta’ala:
“Sesunggunya Allah beserta orang-orang yang bertakwa
dan orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. AnNahl:128).
“Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa
lagi Maha Penyayang, Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan (melihat) pula perubahan gerak
badanmu di antara orang-orang yang sujud.
Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (QS. Asy-syuaraa’: 217-220).
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak
membaca suatu ayat dari Al-Qur’an dan kamu tidak
mengerjakan suatu pekerjaan melainkan Kami menjadi
saksi atasmu di waktu kamu melakukannya…”. (QS.
Yunus: 61).
Syarah dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Kata ihsan (berbuat baik) merupakan kebalikan dari kata
isaa'ah (berbuat buruk). Jadi ihsan adalah tindakan
seseorang untuk melakukan yang makruf dan menahan
diri dari dosa. Ia mendermakan kemakrufan kepada
hamba-hamba Alloh Ta'ala, baik melalui hartanya,
kemuliaannya, ilmunya maupun raganya.
Berkaitan dengan harta, maka ia akan berinfak,
bershodaqoh, dan berzakat. Namun jenis ihsan yang
paling utama dalam hal ini adalah zakat, karena zakat
merupakan salah satu dari rukun Islam dan salah satu
bangunan Islam yang pokok, bahkan keislaman seseorang tidak akan sempurna tanpa zakat. Zakat juga
merupakan nafkah yang paling dicintai oleh Alloh Ta'ala,
dan untuk urutan yang selanjutnva adalah apa yang
menjadi kewajiban manusia berupa menafkahi istri, ibu,
ayah, keturunan, saudara laki-laki, anak-anak saudaranya,
saudari-saudarinya, paman-pamannya, bibi-bibinya, dan
seterusnya. Selanjutnya, shodaqoh kepada orang-orang
miskin dan kepada siapa saja yang berhak menerima
shodaqoh, seperti para penuntut ilmu -umpamanya-.
Berkaitan dengan kehormatan, maka manusia itu
memiliki derajat yang berbeda-beda. Diantara mereka
ada yang memiliki kedudukan di hadapan penguasa.
Maka, di sini ia dapat mendermakan kemakrufan dengan
kehormatannya. Seseorang mendatanginya untuk
meminta syafaat darinya kepada penguasa agar berkenan
memberikan syafaat kepadanya di sisi penguasa itu,
entah dengan menolak kemadhorotan darinya ataukah
mendapatkan keuntungan baginya.
Melalui ilmunya, ia bisa mendermakan ilmunya kepada
hamba-hamba Alloh. Ini bisa dilakukan dengan cara
melakukan pengajaran (ta'lim) di halaqoh-halaqoh dan
majelis-majelis ta'lim, baik yang bersifat umum maupun
khusus. Sampai-sampai, jika Anda sedang berada di
sebuah warung pun, merupakan perbuatan kebajikan dan
ihsan jika Anda memberikan pengajaran kepada manusia.
Dan sekalipun Anda berada di tengah-tengah khalayak
umum, maka adalah merupakan kebaikan bila Anda
memberikan pengajaran kepada manusia. Namun perlu
diingat, gunakan cara yang 'hikmah' dalam melakukan ini semua. Jangan sampai terlalu membebani atau
memberatkan orang lain; setiap kali Anda duduk di suatu
majlis, lantas Anda langsung menasehati mereka dan
menyampaikan 'ceramah' kepada mereka. Sebab Nabi
shallallahu 'alaihi wassalam sendiri berhati-hati dalam
menyampaikan nasihat dan tidak terlalu banyak. Sebab
hati akan merasa bosan dan jemu. Jika telah bosan, maka
akan menjadi penat dan lesu. Dan boleh jadi akan
membenci kebaikan karena banyaknya orang yang
ngomong soal kebaikan.
Tentang berbuat ihsan kepada sesama manusia melalui
raga adalah seperti yang disabdakan oleh Nabi
shallallahu 'alaihi wassalam
“'Engkau bantu seseorang untuk naik ke atas hewan
tungangannya, atau menaikkan barang-barangnya ke atas
tunggangannya adalah shodaqoh" (HR. Bukhari dalam
Kitabul Jihaad, HR. Muslim dalam Kitabuz Zakat)
Seseorang yang Anda bantu untuk membawa barangbarangnya
atau Anda tunjukkan arah jalan yang mesti ia
tempuh, atau contoh yang serupa dengan ini, semuanya
merupakan bagian dari perbuatan ihsan. Ini adalah
perbuatan ihsan bila dinisbatkan kepada hamba-hamba
Alloh.
Sedangkan yang dimaksud dengan ihsan bila dinisbatkan
kepada peribadahan kepada Alloh, adalah Engkau
mengibadahi Alloh seakan engkau melihat-Nya, seperti
yang disabdakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wassalam. Peribadahan manusia kepada Robbnya yang dilakukan
seakan ia melihat-Nya ini adalah ibadah “tholab”
(tuntutan) dan “syauq” (kerinduan). Ibadah tholab dan
syauq akan menjadikan seseorang mendapatkan
pendorong dalam dirinya untuk melakukan peribadahan
itu, karena ia menuntut sesuatu yang dicintatnya ini. Ia
mengibadahi-Nya seakan melihat-Nya, sehingga ia akan
menuju-Nya, kembali (bertaubat kepada-Nya serta
mendekatkan diri (taqorub) kepada-Nya. "Jika Engkau
tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu".
Ini adalah ibadah “harb” (pelarian diri) dan “khouf”
(kekhawatiran). Karenanya yang ini merupakan tingkatan
ihsan yang kedua. Jika engkau belum bisa mengibadahi
Allah Subhanahu wa Ta’ala seakan engkau melihat-Nya
dan menuntut-Nya serta mendorong jiwa untuk sampai
kepada-Nya, maka ibadahilah Dia seakan Dia-lah yang
senantiasa melihatmu, sehingga engkau mengibadahiNya
dalam bentuk peribadahan orang yang takut kepadaNya
serta lari dari adzab dan balasan-Nya. Tingkatan
yang ini, menurut para ahli suluk, lebih rendah daripada
tingkatan yang pertama tadi.
Mengibadahi Alloh Ta'ala adalah sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah:
“Mengibadahi Ar-Rohmin adalah kecintaan yang optimal
kepada-Nya Disertai ketundukan penyembah-Nya, keduanya adalah
rukun"
Jadi, ibadah itu dibangun di atas dua hal ini; kecintaan
dan ketundukan yang optimal. Dalam kecintaan terdapat
tuntutan, sedangkan di dalam ketundukan terdapat
kekhawatiran dan ketakutan. Ini adalah ihsan dalam
mengibadahi Alloh Ta'ala.
Jika seorang manusia mengibadahi Alloh dalam bentuk
seperti ini, maka ia akan menjadi seorang yang ikhlas
(mukhlis) demi Alloh Subhanahu wa Ta’ala . Dalam
mengibadahi-Nya tidak ingin riya maupun sum'ah
ataupun karena pujian dari manusia lain; entah manusia
lain melihatnya ataupun tidak, semuanya sama saja
baginya. Dia berarti mengihsankan ibadahnya. Bahkan
diantara bentuk sempurnanya keikhlasan adalah
keinginan seseorang agar tidak dilihat oleh seorang pun
dalam melakukan ibadah dan agar supaya ibadahnya
kepada Robbnya itu terahasiakan, kecuali apabila
keterbukaan ibadahnya itu membawa kemaslahatan bagi
kaum muslimin atau bagi Islam itu sendiri. Misalnya, bila
seseorang itu punya pengikut yang mencontoh
pedakuannya dan ia ingin menjelaskan ibadahnya kepada
manusia lainnya agar mereka dapat mengambil 'lentera'
yang dapat menerangi jalan mereka, atau bila ia ingin
menampakkan ibadah agar diikuti pula oleh temari-teman
atau sahabat-sahabatnya. Dalam hal yang demikian ini
jelas terdapat kebaikan. Kemaslahatan semacam ini
terkadang lebih utama dan lebih tinggi ketimbang
kemaslahatan ibadah yang disembunyikan. Karena Alloh
Ta'ala memberikan pujian terhadap orang-orang yang
menginfakkan harta mereka secara rahasia maupun
terang-terangan. Bilamana secara rahasia itu lebih bermaslahat dan lebih bermanfaat bagi hati, lebih
khusyuk, serta lebih menghadirkan diri kepada Alloh,
maka mereka melakukannya secara rahasia atau
sembunyi-sembunyi. Dan jika secara terbuka dan terangterangan
itu membawa maslahat bagi Islam dengan
tampaknya syari'at-syari'atnya, serta bagi kaum muslimin
yang akhirnya dapat mencontoh dan meneladani orang
yang melakukan ibadah ini, maka mereka melakukan hal
itu secara terang-terangan.
Seorang mukmin akan memperhatikan mana yang lebih
bermaslahat. Manakala suatu ibadah lebih bermaslahat
dan lebih membawa manfaat, maka ibadah itu jelas lebih
sempurna dan lebih utama.
Landasan Kedua (15). Tingkatan 3 : Ihsan
Reviewed by suqamuslim
on
03.03
Rating:
Tidak ada komentar: